وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فيه عِلْمًا سَهَّلَ الله له بِهِ طَرِيقًا إلى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah menudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.Muslim:2699)

Senin, 31 Agustus 2015

Kiat Mengoptimalkan Waktu dalam Menutut Ilmu

Kiat Mengoptimalkan Waktu dalam Menutut Ilmu




(Muhammad Galih Sugiarta)

Waktu adalah suatu masa yang akan berjalan terus menerus tanpa henti, dan waktu tidak akan pernah berjalan mundur, namun banyak dari kita kaum muslimin menyia-nyiakan waktu bukan untuk beribadah kepada Allah melainkan untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat, padahal Allah Ta’ala sudah banyak bersumpah dengan waktu yang menunjukan urgensinya dalam kehidupan, salah satunya yang sering kita dengar adalah firman Allah Ta’ala:
وَالْعَصْرِ ﴿1﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿2﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿3﴾

“Demi masa. Sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS. al-‘Ashr[103]: 1 – 3).

Marilah kita bersemangat untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan mengoptimalkannya dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala agar kita tidak termasuk orang-orang yang mengalami kerugian. Mari kita perhatikan nasehat Imam Syafi’I rahimahullah:

صَحِبْتُ الصُّوفِيَّةَ فَلَمْ أَسْتَفِدْ مِنْهُمْ سِوَى حَرْفَيْنِ: أَحَدُهُمَا قَوْلُهُمْ: الْوَقْتُ سَيْفٌ، فَإِنْ قَطَعْتَهُ وَإِلَّا قَطَعَكَ. وَذَكَرَ الْكَلِمَةَ الْأُخْرَى: وَنَفْسُكَ إِنْ لَمْ تَشْغَلْهَا بِالْحَقِّ وَإِلَّا شَغَلَتْكَ بِالْبَاطِلِ.
“Aku pernah berkawan dengan orang-orang sufi, akupun tidaklah mendapatkan pelajaran yang bermanfaat darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.” Dan Beliau menyebutkan yang lainnyaa: Jika dirimu tidak tersibukkan dengan kebaikan, maka pastilah akan tersibukkan dengan perkara yang batil.” (Ibn al-Qoyyim, al-Da’ wa Dawa’ hal. 239)

Syaikh Ali Hasan al-Halaby hafizhohullah memberikan penjelasan catatan kaki dalam tahqiqnya terhadap kitab al-Da’ wa Dawa’ hal. 239 tentang maksud perkataan Imam Syafi’I menyebutkan orang sufi adalah orang yang ada pada zamannya, sedangkan orang sufi pada zaman sekarang tidak ada yang bisa diambil manfaatnya sama sekali.

Tips dan Trik bagaimana menyiasati waktu
Hal ini sebagimana yang di jelaskan Didin Khalidin dalam kitabnya “Cara Praktis Mennghafal Al-Qur’an Hanya Dengan Membaca” :

Pertama, Tulislah apa saja yang akan dihafal dari al-Qur’an atau al-Hadits pada hari ini di kertas kecil (seperempat folio) kemudian tempelkan di tempat-tempat yang sering di kunjungi, seperti tempat kerja, kamar tidur, atau di mana saja yang sering dilihat kecuali di tempat kotor.

Kedua, Seringlah murajaah dan mempraktekannya. Kalau sedang menghafal al-Qur’an maka prakteknya adalah ketika sholat sunnah atau dilantunkan ketika murajaah (mengulang-ulang). Kalau sedang menghafal hadits maka prakteknya adalah dengan ditulis di kertas dan diajarkan kepada orang yang berada di sekeliling kita (istri, anak, orang tua, dan keluarga).

Ketiga, Lakukan sedikit demi sedikit dengan rutin. Sesuatu yang dilakukan terus menerus walaupun sedikit itu lebih baik daripada melakukan perkara yang besar namun terputus (Discontinue). Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu’anha:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ.
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam pernah ditanya “Amalan apakah yang paling Allah sukai?” Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menjawab: “Yang terus-menerus walaupun sedikit.” (HR. Muslim No. 782, 216)

Keempat, Meminta kepada teman ataupun keluarga terdekat untuk mengingatkan tentang jadwal kegiatan murajaah. Misalnya, ketika perjalanan ke tempat jauh, bawalah buku catatan apa yang akan dihafal, ataupun bisa membawa kitab lalu mintalah kepada istri, teman, atau kerabat untuk membacakannya di depan kita.

Kelima, Perbanyaklah doa memohon kepada Allah Ta’ala untuk dimudahkan dalam melakukan ibadah kepada-Nya. Yaitu dengan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
“Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu serta beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud no. 1522, dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Jami’ No. 3063)
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
"Ya Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu." (HR. Tirmidzi no. 3522, dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam  as-Shahihah No. 2091)
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
"Ya Allah, yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim No. 2654)
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وعَذَابِ الْقَبْرِ، اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا ومَوْلاَهَا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ، ومِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ، ومِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، ومِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, kekikiran, pikun dan adzab kubur. Ya Allah, berikanlah ketakwaan pada diriku dan sucikanlah dia, karena Engkau-lah sebaik-baik Dzat yang menyuci-kannya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak ber-manfaat, hati yang tidak khusyu’, nafsu yang tidak pernah puas dan do’a yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim No. 2722).


Inilah penjelasan singkat mengenai Tips dan Trik cara menyiasati waktu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, mudah-muadahan kita bisa menjadi orang-orang  yang memanfaatkan dan mengoptimalkan waktu dari sisa umur untuk menutut ilmu syar’i dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu’alam

KEUTAMAAN ILMU AGAMA

KEUTAMAAN ILMU AGAMA


   Jika kita mengetahui keutamaan ilmu ini, pasti akan semakin semangat untuk belajar Islam. Jika keutamaannya semakin membuat seseorang dekat dengan Allah, diridhoi malaikat dan membuat penduduk langit, juga bumi tunduk, maka itu sudah jadi keutamaan yang luar biasa.

Berikut kami tunjukkan beberapa di antara keutamaan ilmu agama:

Pertama:  Yang paling takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu
Hal ini bisa direnungkan dalam ayat,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu). Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).

Para ulama berkata,

من كان بالله اعرف كان لله اخوف
Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.

Kedua:  Keutamaan menuntut ilmu sudah tercakup dalam hadits berikut.

عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ -صلى الله عليه وسلم- لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Dari Katsir bin Qois, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut. Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridho pada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud no. 3641. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dan sungguh sangat indah apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,

ولو لم يكن في العلم الا القرب من رب العالمين والالتحاق بعالم الملائكة وصحبة الملأ الاعلى لكفى به فضلا وشرفا فكيف وعز الدنيا والآخرة منوط به ومشروط بحصوله

Seandainya keutamaan ilmu hanyalah kedekatan pada Rabbul ‘alamin (Rabb semesta alam), dikaitkan dengan para malaikat, berteman dengan penduduk langit, maka itu sudah mencukupi untuk menerangkan akan keutamaan ilmu. Apalagi kemuliaan dunia dan akhirat senantiasa meliputi orang yang berilmu dan dengan ilmulah syarat untuk mencapainya” (Miftah Daaris Sa’adah, 1: 104).

Ketiaga:  Orang yang dipahamkan agama, itulah yang dikehendaki kebaikan.
Dari Mu’awiyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037). 

Yang dimaksud fakih dalam hadits bukanlah hanya mengetahui hukum syar’i, tetapi lebih dari itu. Dikatakan fakih jika seseorang memahami tauhid dan pokok Islam, serta yang berkaitan dengan syari’at Allah. Demikian dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi, hal. 21.

Keempat:  Akan hidup terus setelah matinya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal; dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Kelima:  Ilmu menghidupkan hati sebagaimana hujan menyuburkan tanah.
Dari Abu Musa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu”. An Nawawi membawakan hadits ini dalam Shahih Muslim pada Bab “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya”.
Imam Nawawi –rahimahullah- mengatakan,

“Adapun makna hadits dan maksudnya, di dalamnya terdapat permisalan bagi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan al ghoits (hujan yang bermanfaat). Juga terdapat kandungan dalam hadits ini bahwa tanah itu ada tiga macam, begitu pula manusia.

Jenis pertama:  adalah tanah yang bermanfaat dengan adanya hujan. Tanah tersebut menjadi hidup setelah sebelumnya mati, lalu dia pun menumbuhkan tanaman. Akhirnya, manusia pun dapat memanfaatkannya, begitu pula hewan ternak, dan tanaman lainnya dapat tumbuh di tanah tersebut.
Begitu pula manusia jenis pertama. Dia mendapatkan petunjuk dan ilmu. Dia pun menjaganya (menghafalkannya), kemudian hatinya menjadi hidup. Dia pun mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang dia miliki pada orang lain. Akhirnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya dan juga bermanfaat bagi yang lainnya.

Jenis kedua:  adalah tanah yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, namun bermanfaat bagi orang lain. Tanah ini menahan air sehingga dapat dimanfaatkan oleh yang lain. Manusia dan hewan ternak dapat mengambil manfaat darinya.

Begitu pula manusia jenis kedua. Dia memiliki ingatan yang bagus. Akan tetapi, dia tidak memiliki pemahaman yang cerdas. Dia juga kurang bagus dalam menggali faedah dan hukum. Dia pun kurang dalam berijtihad dalam ketaatan dan mengamalkannya. Manusia jenis ini memiliki banyak hafalan. Ketika orang lain yang membutuhkan yang sangat haus terhadap ilmu, juga yang sangat ingin memberi manfaat dan mengambil manfaat bagi dirinya; dia datang menghampiri manusia jenis ini, maka dia pun mengambil ilmu dari manusia yang punya banyak hafalan tersebut. Orang lain mendapatkan manfaat darinya,sehingga dia tetap dapat memberi manfaat pada yang lainnya.

Jenis ketiga:  adalah tanah tandus yang tanaman tidak dapat tumbuh di atasnya. Tanah jenis ini tidak dapat menyerap air dan tidak pula menampungnya untuk dimanfaatkan orang lain.
Begitu pula manusia jenis ketiga. Manusia jenis ini tidak memiliki banyak hafalan, juga tidak memiliki pemahaman yang bagus. Apabila dia mendengar, ilmu tersebut tidak bermanfaat baginya. Dia juga tidak bisa menghafal ilmu tersebut agar bermanfaat bagi orang lain.” (Syarh Muslim, 15: 47-48). Wallahu’alam.

“Semoga Allah beri hidayah untuk terus menempuh jalan meraih ilmu bermanfaat” “Aamiin”

MENGENAL SYARIAT QURBAN

MENGENAL SYARIAT QURBAN


       (Oleh: Syaiful Amri, Mahasiswa STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya)

Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam yang telah memberikan kepada kita banyak kenikmatan. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu alaihiwasalam yang diutus sebagai rahmat atas seluruh alam, demikian pula keluarga dan para sahabat beliau serta mereka yang mengikuti beliau dengan baik hingga akhir kiamat kelak...
Amma ba’du,

Di antara makna yang terkandung dalam pensyari’atan ibadah kurban adalah untuk mengenang Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail as dari agungnya ketaatan mereka dalam menjalankan perintah Allah Ta'ala. Melalui wahyu mimpi Allah Ta'ala memerintahkan Bapak para nabi tersebut untuk menyembelih putranya Nabi Ismail as dalam keadaan hidup-hidup. Maka serta merta dengan ketundukan yang besar dan kepatuhan yang tinggi beliau as menyambut dan memenuhi perintah Allah Ta'ala tanpa ada keraguan sedikit pun dalam hatinya. Kemudian sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan putranya, maka Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor sesembelihan (kambing) yang besar, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaffat [37]: 107)

Mulai saat itulah, kaum muslimin berkurban dengan menyembelih hewan ternak mereka dalam rangka melaksanakan perintah Allah Ta'ala. Karena menyembelih hewan kurban merupakan ketaatan yang paling utama. Ibadah kurban hukumnya adalah sunnah muakkadah, dan dimakruhkan bagi yang mampu melakukannya lalu meninggalkan ibadah tersebut. (Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq: III/320)

Definisi Kurban
Kurban dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Udhhyiyah dan adh-Dhahiyyah, yaitu sebutan untuk binatang sembelihan seperti: unta, sapi, dan kambing yang disembelih pada hari Raya Kurban dan hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta'ala. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq: III/189)

Pensyari’atan Kurban
Allah swt mensyari’atkan berkurban dengan firman-Nya:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (١)فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأبْتَرُ (٣)
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang terputus”. (QS. Al-Kautsar [108]: 1-3)

š
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat)”. (QS. Al-Hajj [22]: 36)

Hikmah disyari’atkan berkurban
            Di antara hikmah yang termuat dalam syari’at ibadah kurban adalah:
     1.    Untuk mendekatkan diri pada Allah
Allah Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam [6]: 162)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan; Mujahid mengatakan: “kata nusuk berarti penyembelihan hewan pada saat menjalankan ibadah haji dan umrah.” Dan Sufyan ats-Tsauri menuturkan bahwasanya nusukii berarti sesembelihanku. (Tafsir Al-Quranil Adhim, Ibnu Katsir: III/382)

     2.    Menghidupkan sunnah/tuntunan Nabi Ibrahim as. Allah memberikan cobaan dan ujian yang berat kepada beliau berupa perintah untuk menyembelih putranya tercinta Ismail as. Dengan bukti ketaatan dan kesabaran beliau as dalam merealisasikan perintah tersebut maka Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor kambing kibas yang besar lalu Nabi Ibrahim pun menyembelihnya. Allah Ta'ala berfirman:

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ 
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS Ash Shaffat [37]: 107)

     3.    Berbagi kebahagiaan dengan fakir miskin dengan memberikan sedekah kepada mereka
    4.  Mensyukuri segala nikmat yang diberikan oleh Allah, salah satunya ditundukkannya hewan-hewan ternak untuk kita. Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Hajj yang artinya:

“kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Hajj [22]: 36-37)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berkurban:

    1. Larangan bagi orang yang ingin berkurban untuk memotong rambut dan kukunya apabila telah masuk bulan Dzulhijjah. 

     Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihiwasalam:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ، فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Apabila kalian melihat hilal Dzulhijjah dan seorang dari kalian hendak berkurban, maka hendaknya dia menahan (untuk memotong) rambut dan kuku-kukunya”. (HR. Muslim 1977)

2. Umur hewan sembelihan

Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam bersabda:
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْن
“Janganlah kalian menyembelih selain Musinnah[1], kecuali apabila kesempitan menimpa kalian, maka (tidak mengapa) kalian menyembelih Jadza’ah[2] dari domba”. (HR. Muslim 1963)

3. Binatang kurban tidak boleh memiliki cacat

Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam bersabda:
أَرْبَعٌ لَا يُجْزِيْنَ فِي الْأَضَاحِي: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ضَلَعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقِي
“Ada empat binatang yang tidak boleh dijadikan buat kurban, yaitu: binatang yang buta yang jelas kebutaannya, yang sakit yang jelas sakitnya, yang pincang yang jelas kepincangannya, dan yang patah yang tidak dapat disembuhkann”. (Shahih Al-Jami’ As-Shaghir, Albani 886)

4.Menyembelih dengan cara yang baik dan menggunakan pisau yang tajam                            


    Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihiwasalam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Syaddad bin Aus t ia berkata:


ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ Shalallahu alaihiwasalam قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ)

"Dua hal yang aku hafal dari Rasulullah saw: (Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu. Apabila kalian membunuh maka berbuat baiklah dalam cara membunuh. Apabila kalian menyembelih maka berbuat baiklah dalam cara menyembelih. Maka hendaklah salah seorang 
dari kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya)". (H.R Muslim 1955

5. Disunnahkan untuk mengarahkan hewan kurban ke arah kiblat dan mengucapkan

     Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya “Zaadul Ma’aad”: (juz. II, hal. 323) dengan membawakan sebuah riwayat dari Abu Dawud, bahwa Nabi saw tatkala mengarahkan hewan kurban beliau ke arah kiblat beliau seraya mengatakan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّموَاتِ وَالأرْضِ حَنِيْفاً وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمَرْتُ وَأَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ
:Dan di saat menyembelih mengucapkan 

بِاسْمِ الله وَاللهُ أَكْبَر، اللّهمّ هَذاَ مِنْكَ وَلَكَ

Dan pengucapan basmalah sendiri adalah wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, yaitu firman Allah Ta'ala
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ 

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS Al-An’am [6]: 121)

Demikian pemaparan singkat ini kami ketengahkan, mudah-mudahan pembahasan tersebut bermanfaat. Wallahu a’lam.





[1] Musinnah, yaitu binatang yang sudah cukup umur. Untuk unta berusia 5 tahun, sapi 2 tahun, dan kambing 1 tahun. (Fiqih Muyassar, hal. 193)
[2] Jadza’ah, yaitu domba yang masih berumur 8 atau 9 bulan.